I. PENDAHULUAN
![]() |
pic source: www.mormonnewsroom.org |
“Hak untuk
hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani,
hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai
pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar
hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi
dalam keadaan apapun dan oleh siapapun.”
Dari keterangan pasal 4 diatas dapat dilihat
bahwasanya hak untuk beragama merupakan hak asasi manusian yang sangan mendasar
dan merupakan salah satu bagian dari non-derogable
rights atau bagian dari hak-hak yang bersifat absolut yang tidak boleh
dikurangi pemenuhannnya oleh pihak manapun, termasuk Negara bahkan dalam
situasi darurat sekalipun.
Hal ini sesuai dengan pengaturan yang dilakukan oleh International Covenant on Civil and
Political Rights (ICCPR) yang
mana memasukkan hak beragama dalam kategori hak-hak yang tidak bisa
ditangguhkan pemenuhannya bahkan dalam keadaan genting sekalipun.[1]
Hal ini jelas bertentangan dengan kenyataan yang
terjadi di Indonesia, dimana Negara sampai saat ini masih hanya mengakui enam
agama resmi yang diakui oleh pemerintah yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu,
Budha dan Konghucu. Kondisi ini tentunya sangat memperihatinkan mengingat terdapat
banyak agama-agama tradisional yang dianut oleh banyak masyarakat Indonesia
namun tidak diakui oleh pemerintah. Contohnya adalah agama Buhun di Jawa Barat,
Kejawen di Jawa Tengah, Permalim di Batak,[2]
dan lain sebagainya.
II.
PEMBAHASAN
Keadaan yang sebagaimana diterangkan diatas mau tidak
mau memaksa masyarakat yang beragama asli Indonesia untuk memasukkan salah satu
agama resmi (yang diakui pemerintah) dikolom Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang
mereka miliki. Hal ini dilakukan tentu saja untuk menghindari persoalan
administrasi yang akan dihadapi masyarakat yang beragama asli Indonesia apabila
mengisi kolom KTP dengan agama asli yang mereka yakini.
Fenomena ini tentu saja merupakan suatu hal yang amat
disayangkan terjadi di Negara hukum seperti Indonesia. Apalagi apabilan dilihat
dari sudut pandang teori dan prinsip non-derogable
rights yang ada baik dalam hukum nasional Indonesia (UU No. 39 tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia) maupun hukum internasional (ICCPR), hak beragama
seseoarang merupakan hak dasar yang tidak boleh dihalangi pemenuhannya oleh
Negara bahkan dalam keadaan genting atau darurat sekalipun. Oleh karenanya jika
dipandang dari sudut pandang ini maka dapat dikatakan bahwa pemerintah
Indonesia sudah melakukan pelanggaran hukum baik itu hukum nasional Indonesia
sendiri maupun hukum yang berlaku secara internasional.
Diskursus perihal kisruh pemasukan agama asli
Indonesia di KTP ini sebanarnya sudah terjadi sudah sejak lama, seiring
berjalannya waktu hal ini sempat tenggelam dengan melihat kenyataan bahwa
masyarakat yang beragama asli Indonesia tersebut sudah pasrah dan merelakan hak
dasarnya dilanggar oleh pemerintah. Namun demikian hal mengejutkan terjadi pada
tahun 2014, tepatnya pada saat Menteri Dalam Negeri, Tjahyo Kumolo, memberikan
pernyataan bahwa masyarakat yang beragama asli Indonesia dan belum diakui
agamanya secara resmi oleh pemerintah Indonesia dapat mengosongkan kolol
agamanya di KTP.
Pernyataan Mendagri sebagaimana dimuat oleh harian
nasional Kompas elektronik adalah sebagai berikut:
“Itu kepercayaan,
sementara kosong, sedang dinegosiasikan. Kami akan segera ketemu Menteri Agama
(Lukman Hakim) untuk membahas ini. Pemerintah tidak ingin ikut campur pada WNI
yang memeluk keyakinannya sepanjang itu tidak menyesatkan dan mengganggu
ketertiban umum.”[3]
Pernyataan yang
mengejutkan ini mendapatkan reaksi dari berbagai pihak, ada pihak yang
menyambut baik gagasan yang disampaikan Mendagri, ada juga pihak yang memandang
gagasan ini sebagai suatu hal yang tidak masuk akal.
Pada kenyataannya,
secara hukum gagasan ini sebenarnya belum akan memperbaiki pelanggaran hukum
yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam hal menghalangi warganya untuk
memeluk agama yang diyakini, namun harus diakui bahwa gagasan ini merupakan
suatu kemajuan dalam penghargaan dan penghormatan terhadap hak sipil yang
dimiliki oleh setiap warga negara Indonesia khusunya hak untuk beragama.
Dalam permasalahan
ini ada dua hal yang seharusnya dilakukan pemerintah Indonesia sesegera mungkin
untuk menghindari pelanggaran hukum yang berkepangjangan. Pertama, harus segera
mengakui agama-agama asli Indonesia sebagai agama resmi Indonesia atau dengan
cara lain juga menghapuskan konsep agama “resmi”. Hal ini bukan berarti
Indonesia akan menjadi negara sekuler murni, hanya sebagai negara yang tidak
mencampuri urusan agama yang dipercayai oleh warganya. Kedua, sembari menunggu
hal pertama diatas dilakukan pemerintah harus menyediakn ruang bagi masyarakat
yang beragama asli Indonesia untuk menyuarakan dan memperkenalkan identitas
agama mereka ke masyarakat lain.
Pada akhirnya, sudah
merupakan kewajiban hukum bagi pemerintah Indonesia untuk menjamin kebebasan
beragama sebagaimana diamanatkan oleh Konstitusi dan hukum. Karena jika praktek
ini terus dibiarkan akan memberikan dampak yang sangat buruk bagi bangsa ini.
Pertama dunia akan mengecam pemerintah Indonesia sebagai pemerintah yang tidak
menghargai hak asasi warganya. Kedua, hal ini juga akan mengajarkan sifat
berbohong dan ketidak jujuran secara tidak langsung kepada warga masyarakat.
Hal ini dikarenakan, praktek pemalsuan agama di KTP dapat membuat generasi muda
yang lahir dari keluarga yang beragama asli Indonesia untuk memhobongi
linkungannya perihal identitas asli mereka hal ini nantinya juga akan
mempengearuhi psikologi kejiwan generasi penerus bangsa dan juga data statistik
perihal jumlah penganut agama-agama resmi di Indonesia. Kesalahan data ini
terjadi karena akan terdapat jumlah agama tertentu yang meningkat karena
banyaknya masyarakat yang beragama asli Indonesia menggunakan salah satu agama
“resmi” sebagai identitas administrasi mereka. Hal ini tentu saya merupakan
suatu kondisi yang sangat memprihatinkan.
III.
Penutup
Simpulan
1.
Terdapat
pelanggaran hukum nasional maupun internasional yang dilakukan oleh pemerintah
Indonesia dalam hal tidak mengakui agama asli Indonesia yang dianut oleh
masyarakat Indonesia.
2.
Pemerintah
Indonesia harus segera melakukan langkah-langkah kongkrit agar penghalangan
akan hak-hak yang tidak dapat ditangguhkan pemenuhannya yang dimiliki oleh
masyarakat Indonesia dapat segera dihilangkan.
Saran
1.
Hal-hal
yang berkaitan dengan agama merupakan suatu hal yang sangat sensitif bagi
masyarakat Indonesia, oleh karenanya memerlukan pembahasan yang segera antar
pemerintah dan juga tokoh-tokoh agama di tengah masyarakat.
2.
Pemerintah
dalam menegakkan suatu peraturan perundang-undangan harus pertama-tama mematuhi
aturan nasional yang ada maupun peraturan internasional yang telah disepakati
sehingga tidak menjadi contoh yang membingungkan bagi masyarakat dimana
pemerintah melakukan pelanggaran terhadap hukum nasional maupun internasional
yang harusnya ditegakkan.
[1]
Human Rights Law Centre. 2011. Absolute
and Non-Derogable Rights in International Law. Human Rights Law Centre, p. 1.
[2]
Wikipedia. Agama Asli Nusantara. http://id.wikipedia.org/wiki/Agama_asli_Nusantara.
Diakses pada tanggal 13/11/2014.
[3] Kompas. 2014. Mendagri: Penganut Kepercayaan Boleh Kosongkan Agama di KTP. http://nasional.kompas.com/read/2014/11/06/15395401/Mendagri.Penganut.Kepercayaan.Boleh.Kosongkan.Kolom.Agama.di.KTP.
Diakses pada tanggal 13/11/2014.
0 comments:
Post a Comment